Skip to main content

Menelusuri Ngarai Sianok dari Guguak Tinggi sampai Panorama


Mengingat kembali kenangan masa kecil kadangkala menjadi hiburan tersendiri bagi saya untuk sekedar mengendorkan syaraf otak dari kegiatan sehari-hari. Dilahirkan di sebuah desa di pinggiran kota Bukittinggi, bernama Parabek, saya besar dilingkungan kehidupan khas Minangkabau yang kental dengan 'Pituah' ADAT BASANDI SARAK, SARAK BASANDI KITABULLAH (Adat berdasarkan syariat agama, syariat agama berdasarkan kepada kitab suci Alquran) dan juga kehidupan yang dekat dengan alam.

Pada jaman itu, belum dikenal permainan Play Station, Game Komputer dan sejenisnya. Permainan favorit kami pada waktu itu berupa permainan yang alami seperti "Main Cak"(Main Galah), "Batalion" (Mirip Petak Umpet), dan menjelajah alam sekitar yang pada waktu itu masih sangat bersih dan segar.

Batu Galodo
Salah satu pengalaman masa kecil yang masih lekat di ingatan saya sampai sekarang adalah menelusuri sungai kecil yang tembus ke pusat kota Bukittingi melewati Ngarai Sianok. Perjalanan dimulai dari desa Guguak Tinggi yang berjarak sekitar 2 km dari desa saya Parabek. Dengan berbekal tongkat kayu yang di pungut di pinggir 'ngarai-guguak', kami bersama-sama menyusuri sungai kecil dengan menuruni tebing yang cukup terjal. Dengan lagak seperti penjelajah kawakan, kami melompati batu-batu besar yang banyak tersebar disepanjang aliran sungai yang menurut cerita orang-orang tua merupakan batu yang berasal dari bencana alam 'Galodo' tahun 1940-an. Syahdan pada waktu itu, kampung kelahiran saya luput dari bencana karena luncuran batu dan lumpur terhalang oleh 'ngarai'. Sampai sekarang masih bisa dilihat bekas-bekas 'galodo' di kampung sebelah yang terkena bencana 'galodo' tersebut seperti Sungai Tanang, Pakan Sinayan, Sungai Landai, Salimpariak, dan kampung lainnya masih banyak bertebaran batu-batu sebesar kerbau. Saking besarnya, batu-batu tersebut dibiarkan tergeletak begitu saja ditengah sawah ataupun halaman rumah.

Janjang Saribu
Sesekali kami sengaja turun ke air yang tidak terlalu dalam untuk merasakan kesejukan dan kesegarannya (sayang sekarang sudah dikotori sampah). Dinaungi oleh rimbunnya pohon, 'ngarai' merupakan tempat yang sejuk untuk berlindung dari teriknya matahari. Menempuh jarak tidak kurang dari tiga kilometer (biasanya kami tempuh dalam dua jam perjalanan) sampailah kami di Ngarai Sianok. Rasa takjub akan keindahan alam ciptaan Tuhan masih tetap terasa walaupun sudah puluhan bahkan mungkin ratusan kali saya menyaksikan keindahan Ngarai Sianok tersebut. Tebing-tebing ngarai yang tinggi, seakan sebuah benteng pertahanan yang sangat kokoh, yang diatasnya ditumbuhi oleh pohon-pohon dan semak yang kalau dilihat dari kejauhan seperti permadani hijau yang luas. Di Ngarai Sianok ini terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan sisi barat dan timur ngarai, yang kalau ditelusuri merupakan penghubung dari Koto Gadang (desa kelahiran H. Agus Salim) dan Bukittingi. Untuk mencapai Koto Gadang dari Ngarai Sianok, harus melalui tangga yang jumlahnya diperkirakan seribu tangga (saya sendiri belum pernah menghitungnya) dan dinamakan Janjang Saribu.

Lobang Jepang
Setelah istirahat beberapa saat di 'ngarai', perjalanan kami lanjutkan menuju pusat kota Bukittinggi. Perjalanan mulai agak melelahkan karena harus melalui jalan menanjak dan kami harus berebutan jalan dengan kendaraan-kendaraan dan angkutan umum yang lewat. Beberapa ratus meter kami berjalan, sampailah kami di sebuah lobang yang ditutup teralis besi. Lobang tersebut merupakan salah satu ujung Lobang Jepang yang ada di sekitar kota Bukittingi. Lobang Jepang ini dibuat sebagai tempat persembunyian tentara jepang pada waktu Perang Dunia II. Beberapa puluh meter dari lobang tersebut, terdapat jalan setapak berupa anak tangga naik yang merupakan jalan tembus ke objek wisata Panorama.

Pendek kata, sampailah kami di Panorama. Dari sini kita bisa melepaskan pandangan sebebas-bebasnya menikmati keindahan alam Ngarai Sianok karena letaknya yang strategis di bibir ngarai. Benar juga kata pepatah melayu "Hujan Emas di Negeri Orang, Hujan Batu di Negeri Sendiri, Lebih Baik Negeri Sendiri".


Share on Facebook

Comments

OMG said…
woiiii ... wong nggunung ... hahaha ... tulisanmu bagus sekali pak rijal ... saya jadi pengen maen ke padang :D

Popular posts from this blog

Jam Gadang dan "Sutan Gigi Ameh"?

Jam Gadang, mungkin sudah tidak asing lagi bagi orang Minang - Sumatera Barat atau mereka yang suka traveling ataupun pemerhati sejarah. Jam yang merupakan landmark kota Bukittinggi ini dibangun pada tahun 1926, dan merupakan hadiah dari Ratu Belanda (Wilhelmina) untuk pengawas/sekretaris kota waktu itu. Pada awalnya, puncak Jam Gadang dihiasi dengan patung ayam jantan, mungkin untuk melambangkan penunjuk waktu karena ayam jantan suka berkokok dipagi hari. Pada zaman penjajahan Jepang, puncak Jam Gadang diubah menjadi Jinja (atap kuil Shinto Jepang). Setelah kemerdekaan, diubah lagi seperti sekarang ini yang menyerupai atap rumah tradisional Minang (Rumah Gadang). Jam Gadang ini dibangun dengan dana sekitar 3000 Gulden (sumber  wikipedia ) dengan arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Yang menarik disini Yazin dan Sutan Gigi Ameh itu orang mana? Satu orangkah (Yazin Sutan Gigi Ameh) atau dua orangkah (Yazin dan Sutan Gigi Ameh)? Kalau Sutan Gigi Ameh dari namanya bisa disimpulkan ada

NEOBUX.COM, Website PTC (Pay To Click) dengan pembayaran online dan realtime!

Beberapa bulan yang lalu, iseng dan sekedar ingin mencoba, saya ikut daftar jadi angota NEOBUX.COM . Website ini menawarkan bayaran bagi pengunjung (terdaftar) yang meng-klik iklan yang ditampilkan. Cukup banyak sih website yang menawarkan layanan ini, namun yang benar-benar langsung dibayar, saya baru menemukan website ini. Pembayaran dilakukan seketika pada saat kita cashout dollar yang kita kumpulkan. Bayarannya pun cukup tinggi dibanding website serupa lainnya yaitu USD0.01 per-klik, sementara website lainnya berkisar USD0.005 per-klik. Untuk pembayarannya, pengunjung minimal harus sudah mengumpulkan USD1 (payment pertama), USD 2 (payment kedua), USD 3 (payment ketiga), dan seterusnya sampai USD 10 (payment kesepuluh dan seterusnya). Namun untuk bisa menerima pembayaran, harus punya account paypal atau alertpay atau neteller . Jika disimulasikan sehari ada 4 iklan yang diklik, maka penghasilan sebulan sekitar USD 1,2. Kecil ya? Iya jika sendiri dan tidak jika punya refferal

SALUANG - Alat Musik Tradisional Minang

Saluang adalah salah satu alat musik tiup yang unik. Untuk meniupnya saja diperlukan keahlian tersendiri, karena alat musik tradisional Minang ini terbuat dari bambu tanpa ada “reed” atau buluh yang dibuat untuk menghasilkan suara. Dengan empat buah lobang di badan saluang, pemain saluang bisa menghasilkan nada yang lebih dari 4 nada. Keunikan lainnya, pemain saluang bisa meniup saluang secara terus menerus tanpa henti, karena pemain saluang bisa meniup sekaligus menarik nafas bersamaan. Konon ada pemain saluang yang sanggup memainkannya semalaman tanpa henti, sampai saluang-nya pecah atau retak. Share on Facebook